Masjid Al-Aqsa, juga ditulis Al-Aqsha (bahasa Arab:المسجد الاقصى, Al-Masjid Al-Aqsha (bantuan·info), arti harfiah: "masjid terjauh") adalah salah satu tempat suci agama Islam yang menjadi bagian dari kompleks bangunan suci di Kota Lama Yerusalem (Yerusalem Timur). Kompleks tempat masjid ini (di dalamnya juga termasuk Kubah Batu) dikenal oleh umat Islam dengan sebutan Al-Haram Asy-Syarif atau "tanah suci yang mulia". Tempat ini oleh umat Yahudi dan Kristen dikenal pula dengan sebutan Bait Suci (bahasa Ibrani: הַר הַבַּיִת, Har haBáyit, bahasa Inggris: Temple Mount), suatu tempat paling suci dalam agama Yahudi yang umumnya dipercaya merupakan tempat Bait Pertama dan Bait Kedua dahulu pernah berdiri.[2][3]
Masjid Al-Aqsa secara luas dianggap sebagai tempat suci ketiga oleh umat Islam. Muslim percaya bahwa Muhammad diangkat ke Sidratul Muntaha dari tempat ini setelah sebelumnya dibawa dari Masjid Al-Haram di Mekkah ke Al-Aqsa dalam peristiwa Isra' Mi'raj.[4] Kitab-kitab hadist menjelaskan bahwa Muhammad mengajarkan umat Islam berkiblat ke arah Masjid Al-Aqsa (Baitul Maqdis) hingga 17 bulan setelah hijrah ke Madinah. Setelah itu kiblat salat adalah Ka'bah di dalam Masjidil Haram, Mekkah, hingga sekarang.[5] Pengertian Masjid Al-Aqsa pada peristiwa Isra' Mi'raj dalam Al-Qur'an (Surah Al-Isra' ayat 1) meliputi seluruh kawasan Al-Haram Asy-Syarif.[6]
Masjid Al-Aqsa pada awalnya adalah rumah ibadah kecil yang didirikan oleh Umar bin Khattab, salah seorang Khulafaur Rasyidin, tetapi telah diperbaiki dan dibangun kembali oleh khalifah Umayyah Abdul Malik dan diselesaikan oleh putranya Al-Walid pada tahun 705 Masehi.[7] Setelah gempa bumi tahun 746, masjid ini hancur seluruhnya dan dibangun kembali oleh khalifah Abbasiyah Al-Mansur pada tahun 754, dan dikembangkan lagi oleh penggantinya Al-Mahdi pada tahun 780. Gempa berikutnya menghancurkan sebahagian besar Al-Aqsa pada tahun 1033, namun dua tahun kemudian khalifah Fatimiyyah Ali Azh-Zhahir
membangun kembali masjid ini yang masih tetap berdiri hingga kini.
Dalam berbagai renovasi berkala yang dilakukan, berbagai dinasti kekhalifahan Islam telah melakukan penambahan terhadap masjid dan kawasan sekitarnya, antara lain pada bagian kubah, fasad, mimbar, menara, dan interior bangunan. Ketika Tentara Salib menaklukkan Yerusalem
pada tahun 1099, mereka menggunakan masjid ini sebagai istana dan
gereja, namun fungsi masjid dikembalikan seperti semula setelah Shalahuddin
merebut kembali kota itu. Renovasi, perbaikan, dan penambahan lebih
lanjut dilakukan pada abad-abad kemudian oleh para penguasa Ayyubiyah, Mamluk, Utsmaniyah, Majelis Tinggi Islam, dan Yordania. Saat ini, Kota Lama Yerusalem berada di bawah pengawasan Israel, tetapi masjid ini tetap berada di bawah perwalian lembaga wakaf Islam pimpinan orang Palestina.
Pembakaran Masjid Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969 telah mendorong berdirinya Organisasi Konferensi Islam yang saat ini beranggotakan 57 negara. Pembakaran tersebut juga menyebabkan mimbar kuno Shalahuddin Al-Ayyubi terbakar habis. Dinasti Bani Hasyim penguasa Kerajaan Yordania telah menggantinya dengan mimbar baru yang dikerjakan di Yordania[8], meskipun ada pula yang menyatakan bahwa mimbar buatan Jepara digunakan di masjid ini.[9][10]
Etimologi
Nama Masjid al-Aqsa bila diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam
bahasa Indonesia, maka ia berarti "masjid terjauh". Nama ini berasal
dari keterangan dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Isra' ayat 1 mengenai Isra Mi'raj. Isra Mi'raj adalah perjalanan yang dilakukan Muhammad dari Masjid Al-Haram menuju Masjid Al-Aqsa, dan kemudian naik ke surga.[1][11] Dalam kitab Shahih Bukhari dijelaskan bahwa Muhammad dalam perjalanan tersebut mengendarai Al-Buraq.[12] Istilah "terjauh" dalam hal ini digunakan dalam konteks yang berarti "terjauh dari Mekkah".[13]
Selama berabad-abad yang dimaksud dengan Masjid Al-Aqsa sesungguhnya
tidak hanya masjid saja, melainkan juga area di sekitar bangunan itu
yang dianggap sebagai suatu tempat yang suci. Perubahan penyebutan
kemudian terjadi pada masa pemerintahan kesultanan Utsmaniyah (kira-kira abad ke-16 sampai awal 1918), dimana area kompleks di sekitar masjid disebut sebagai Al-Haram Asy-Syarif, sedangkan bangunan masjid yang didirikan oleh Umar bin Khattab disebut sebagai Jami' Al-Aqsa atau Masjid Al-Aqsa.[6]
Sejarah
Pra konstruksi
Area masjid ini dahulu adalah bagian perluasan pembangunan bukit oleh Raja Herodes Agung,
yang dimulai pada tahun 20 SM. Herodes memerintahkan tukang batu untuk
memotong permukaan batu di sisi timur dan selatan bukit, dan
melapisinya. Sisa-sisa pembangunan tersebut saat ini masih dapat
ditemukan di beberapa lokasi.[14] Ketika Bait Kedua masih berdiri, situs tempat masjid saat ini berdiri disebut dengan nama Serambi Salomo, dan pada tiap sisinya terdapat gudang kuil yang dinamakan chanuyot,
yang memanjang sampai ke sisi selatan bukit. Konstruksi tiang-tiang
kolom besar persegi di bagian utara masjid serta tembok-temboknya,
baru-baru ini ditetapkan memiliki usia jauh lebih tua daripada yang
diperkirakan sebelumnya oleh peneliti-peneliti terdahulu (berdasarkan
tulisan para saksi mata dari masa itu), yaitu bahwa konstruksi tersebut
berasal dari masa kekuasaan Romawi. Tembok-tembok tersebut dibangun
kembali atau diperkuat tidak lama setelah penghancuran Yerusalem pada
tahun 70 Masehi. Struktur bawah tanah bangunan ini berasal dari masa
kembalinya orang Yahudi dari pembuangan Babilonia
mereka, yaitu 2.300 tahun yang lalu. Situasi politik telah menyebabkan
penggalian lebih lanjut di area tersebut tidak memungkinkan. Pada saat
gempa bumi tahun 1930-an merusak masjid ini, penanggalan atas beberapa
bagian yang terbuat dari kayu sempat dilakukan, yang menunjukkan kurun
900 SM. Kayu-kayu tersebut adalah cypress (sejenis cemara) dan akasia. Jenis yang disebut terakhir menurut Alkitab digunakan oleh Raja Salomo dalam konstruksi bangunan-bangunannya di bukit tersebut pada sekitar 900 SM.[15] Bersama dengan Bait Suci, chanuyot yang ada ikut hancur oleh serangan Kaisar Romawi Titus (saat itu masih jenderal) pada tahun 70. Kaisar Yustinianus membangun sebuah gereja Kristen di situs ini pada tahun 530-an, yang dipersembahkan bagi Perawan Maria dan dinamakan "Gereja Bunda Kita". Gereja ini belakangan dihancurkan oleh Kaisar Sassania Khosrau II pada awal abad ke-7, hingga tersisa sebagai reruntuhan.[16]
Konstruksi Umayyah
Tidak diketahui secara tepat kapan Masjid Al-Aqsa pertama kali
dibangun dan siapa yang memerintahkan pembangunannya, namun dapat
dipastikan bahwa pembangunannya dilakukan pada masa awal pemerintahan
Umayyah di Palestina. Berdasarkan kesaksian Arculf, seorang biarawan Galia yang berziarah ke Palestina pada 679-82, sejarawan arsitektur Sir Archibal Creswell berpendapat bahwa Umar bin Khattab mungkin adalah orang yang pertama kali mendirikan bangunan persegi empat primitif berkapasitas 3.000 jamaah di suatu tempat di Al-Haram Asy-Syarif (Bukit Bait Suci). Bagaimanapun juga, Arculf mengunjungi Palestina pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Dengan demikian, adalah mungkin bahwa Muawiyah lah yang memerintahkan
pembangunan dan bukan Umar. Pendapat terakhir ini didukung oleh tulisan
dari ulama Yerusalem awal Al-Mutahhar bin Tahir Al-Maqdisi.[17]
Analisis atas panel dan balok kayu yang diambil dari bangunan ini
selama renovasi pada tahun 1930-an menunjukkan bahwa kayu-kayu tersebut
adalah cedar Libanon dan cypress. Penanggalan radiokarbon
menunjukkan berbagai macam usia, beberapa bahkan setua abad ke-9 SM,
yang menunjukkan bahwa beberapa dari kayu tersebut sebelumnya telah
digunakan pada bangunan-bangunan yang lebih tua.[18]
Menurut beberapa ulama Islam, antara lain Mujiruddin Al-Ulaimi, Jalaluddin As-Suyuthi, dan Syamsuddin Al-Maqdisi, masjid ini dibangun kembali dan diperluas oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada 690 bersama dengan Kubah Batu.[17][19]
Guy le Strange mengklaim bahwa Abdul Malik menggunakan bahan-bahan dari
Gereja Bunda Kita yang hancur untuk membangun masjid dan menunjukkan
bukti bahwa kemungkinan substruktur di sudut tenggara masjid adalah
sisa-sisa gereja tersebut.[19] Dalam merencanakan proyek megahnya di Bukit Bait Suci, yang pada akhirnya akan mengubah keseluruhan kompleks itu menjadi Al-Haram Asy-Syarif
("tanah suci yang mulia"), Abdul Malik ingin mengubah bangunan primitif
sebagaimana digambarkan oleh Arculf menjadi struktur yang lebih
terlindung yang melingkupi kiblat, suatu faktor penting dalam skema lengkap rancangannya. Namun demikian, seluruh Al-Haram Asy-Syarif
itu dimaksudkan untuk melambangkan masjid. Seberapa banyak perubahan
yang ia lakukan pada aspek bangunan sebelumnya tidak diketahui, tetapi
panjang bangunan baru ditunjukkan dengan adanya bekas jembatan yang
mengarah ke istana Umayyah, yang terletak di sebelah selatan dari bagian
barat kompleks. Jembatan kemungkinan dahulunya membentang dari jalan di
luar tembok selatan Al-Haram Asy-Syarif, sebagai akses langsung
menuju masjid. Adanya akses langsung dari istana ke masjid adalah sebuah
ciri khas yang terkenal pada masa Umayyah, sebagaimana terdapat pada
situs-situs awal lainnya. Abdul Malik menggeser poros tengah masjid
sekitar 40 meter ke arah barat, sesuai dengan rencana lengkapnya atas Al-Haram Asy-Syarif.
Poros bangunan sebelumnya yang berbentuk sebuah ceruk, saat ini masih
dikenal dengan sebutan "Mihrab Umar". Karena memperhatikan benar posisi Kubah Batu, Abdul Malik meminta arsiteknya menyejajarkan Masjid Al-Aqsa yang baru dengan posisi batu Ash-Shakhrah, sehingga sumbu utama utara-selatan Bukit Bait Suci yang sebelumnya, yaitu garis yang melalui Kubah Silsilah dan Mihrab Umar, menjadi bergeser.[20]
Creswell, yang merujuk pada Papyri Aphrodito, sebaliknya mengklaim bahwa Al-Walid bin Abdul Malik adalah yang membangun kembali Masjid Al-Aqsa selama periode enam bulan sampai satu tahun, dengan para pekerja dari Damaskus.
Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa rekonstruksi masjid dimulai oleh
Abdul Malik, namun Al-Walid lah yang mengawasinya hingga selesai. Dalam
tahun 713-714, serangkaian gempa bumi telah merusak Yerusalem dan
menghancurkan bagian timur masjid, yang akhirnya dibangun kembali pada
masa pemerintahan Al-Walid tersebut. Untuk membiayai rekonstruksi ini,
Al-Walid memerintahkan emas dari Kubah Ash-Shakhrah dicetak sebagai
sebagai uang logam untuk membeli bahan-bahan bangunan.[17] Masjid Al-Aqsa yang dibangun Umayyah kemungkinan besar berukuran 112 x 39 meter.[20]
Arti penting dalam agama Islam
Istilah "Masjid al-Aqsa" dalam Islam tidaklah terbatas pada masjid saja, melainkan meliputi seluruh Al-Haram Asy-Syarif (Bukit Bait Suci).[56] Masjid ini dikenal sebagai rumah ibadah kedua yang dibangun setelah Masjid Al-Haram di Mekkah. Imam Muslim menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari:Selama perjalanan malamnya menuju Baitul Maqdis (Yerusalem), Muhammad mengendarai Al-Buraq dan setibanya di sana ia salat dua rakaat di Bukit Bait Suci. Setelah selesai salat, malaikat Jibril membawanya naik ke surga, di mana ia bertemu dengan beberapa nabi lainnya, dan kemudian menerima perintah dari Allah yang menetapkan kewajiban bagi umat Islam agar menjalankan salat lima waktu setiap harinya.[5][59] Ia kemudian kembali ke Mekkah.
- Saya bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai masjid yang mula-mula dibangun di atas bumi ini.
- Rasulullah saw. menjawab: "Masjid Al-Haram".
- Saya bertanya: "Kemudian masjid mana?"
- Rasulullah saw. menjawab: "Masjid Al-Aqsa".
- Saya bertanya: "Berapa jarak waktu antara keduanya?"
- Rasulullah saw. menjawab: "Empat puluh tahun. Kemudian seluruh bumi Allah adalah tempat sujud bagimu. Maka di manapun kamu mendapati waktu salat, maka salatlah".[57][58]
Masjid Al-Aqsa dikenal sebagai "masjid terjauh" dalam Surah Al-Isra pada Al-Qur'an.[60] Lokasinya menurut tradisi umat Islam ditafsirkan sebagai situs Al-Haram Asy-Syarif di Yerusalem, di mana masjid dengan nama ini sekarang telah berdiri. Berdasarkan tradisi ini, istilah masjid yang dalam bahasa Arab secara harfiah berarti "tempat sujud",[61] juga dapat merujuk kepada tempat-tempat ibadah monoteistik lainnya seperti Haikal Sulaiman, yang dalam Al-Qur'an juga disebut dengan istilah "masjid".[62] Para sejarawan Barat Heribert Busse dan Neal Robinson berpendapat bahwa itulah penafsiran yang diinginkan.[63][64]
Maimunah binti Sa’ad dalam hadits tentang berziarah ke Masjid Al-Aqsa menyebutkan: "Ya Nabi Allah, berikan fatwa kepadaku tentang Baitul Maqdis". Nabi berkata, "Tempat dikumpulkannya dan disebarkannya (manusia). Maka datangilah ia dan salat di dalamnya. Karena salat di dalamnya seperti salat 1.000 rakaat di selainnya". Maimunah berkata lagi: "Bagaimana jika aku tidak bisa". "Maka berikanlah minyak untuk penerangannya. Barang siapa yang memberikannya maka seolah ia telah mendatanginya."[65][66][67]
Kiblat pertama
Sejarah penting Masjid Al-Aqsa dalam Islam juga mendapatkan penekanan lebih lanjut, karena umat Islam ketika salat pernah berkiblat ke arah Al-Aqsa selama empat belas atau tujuh belas bulan[68] setelah peristiwa hijrah mereka ke Madinah tahun 624.[69] Menurut Allamah Thabathaba'i, Allah menyiapkan umat Islam untuk perpindahan kiblat tersebut, pertama-tama dengan mengungkapkan kisah tentang Ibrahim dan anaknya Ismail, doa-doa mereka untuk Ka'bah dan Mekkah, upaya mereka membangun Baitullah (Ka'bah), serta perintah membersihkannya untuk digunakan sebagai tempat beribadah kepada Allah. Kemudian diturunkanlah ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk menghadap ke arah Masjid Al-Haram dalam salat mereka.[5]Perubahan arah kiblat adalah alasan mengapa Umar bin Khattab, salah seorang Khulafaur Rasyidin, tidak salat menghadap batu Ash-Shakhrah di Bukit Bait Suci ataupun membangun bangunan di sekitarnya; meskipun ketika Umar tiba di sana pada tahun 638, ia mengenali batu tersebut yang diyakini sebagai tempat Muhammad memulai perjalanannya naik ke surga. Hal ini karena berdasarkan yurisprudensi Islam, setelah arah kiblat berpindah, maka Kab'ah di Mekkah telah menjadi lebih penting daripada tempat batu Ash-Shakhrah di Bukit Bait Suci tersebut.[70]
Berdasarkan riwayat-riwayat yang umum dikenal dalam tradisi Islam, Umar memasuki Yerusalem setelah penaklukannya pada tahun 638. Ia diceritakan bercakap-cakap dengan Ka'ab Al-Ahbar, seorang Yahudi yang telah masuk Islam dan ikut datang bersamanya dari Madinah, mengenai tempat terbaik untuk membangun sebuah masjid. Al-Ahbar menyarankan agar masjid dibangun di belakang batu Ash-Shakhrah "... maka seluruh Al-Quds (berada) di depan Anda". Umar menjawab, "Ka'ab, Anda sudah meniru ajaran Yahudi".[71] Namun demikian, segera setelah percakapan ini Umar dengan jubahnya mulai membersihkan tempat yang telah dipenuhi dengan sampah dan puing-puing tersebut. Demikian pula kaum Muslim pengikutnya turut serta membersihkan tempat itu. Umar kemudian mendirikan salat di tempat yang diyakini sebagai tempat salat Muhammad pada saat Isra Mi'raj, dan Umar di tempat itu membacakan ayat-ayat Al-Qur'an dari Surah Sad.[70] Oleh karenanya, berdasarkan riwayat tersebut maka Umar dianggap telah menyucikan kembali situs tersebut sebagai masjid.[72]
Mengingat kesucian Bukit Bait Suci, sebagai tempat yang dipercayai pernah digunakan untuk berdoa oleh Ibrahim, Daud, dan Sulaiman, maka Umar mendirikan sebuah rumah ibadah kecil di sudut sebelah selatan area tersebut. Ia secara berhati-hati menghindarkan agar batu Ash-Shakhrah tidak terletak di antara masjid itu dan Ka'bah, sehingga umat Islam hanya akan menghadap ke arah Mekkah saja ketika mereka salat.[70]
Status religius
Naskah-naskah abad pertengahan, sebagaimana pula tulisan-tulisan politis era moderen ini, cenderung menempatkan Masjid Al-Aqsa sebagai tempat suci ketiga bagi umat Islam.[76] Sebagai contoh, kitab Sahih Bukhari mengutip Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan: "Janganlah perjalanan itu memberatkan (kamu) kecuali ke tiga masjid yaitu Masjid Al-Haram, Masjid Rasulullah SAW, dan Masjid Al-Aqsa".[77] Selain itu, Organisasi Konferensi Islam (yang alasan pendiriannya adalah "untuk membebaskan Al-Aqsa dari pendudukan Zionis [Israel]") menyebut Masjid Al-Aqsa dalam sebuah resolusi yang mengutuk tindakan-tindakan Israel pada kota itu, sebagai tempat tersuci ketiga bagi umat Islam.[78]